Updaterakyat, Ogan Ilir – Tenun songket di Desa Tanjung Pinang, Kecamatan Tanjung Batu, masih menjadi denyut ekonomi masyarakat terutama bagi perempuan pengrajin yang mempertahankan tradisi turun-temurun tersebut.
Hal itu terungkap melalui penelitian lapangan yang dilakukan oleh Ratna, mahasiswi Program Studi Pendidikan Masyarakat Universitas Sriwijaya pada Senin, 17 November 2025.
Dalam penelitiannya, Ratna menemukan bahwa kerajinan songket telah diwariskan secara informal dari generasi ke generasi dan dilakukan menggunakan alat tenun kayu tradisional.
Meski prosesnya memerlukan ketelitian tinggi dan waktu pengerjaan yang panjang, para pengrajin tetap mempertahankannya karena nilai budaya dan ekonomi yang terkandung di dalamnya.
“Saya belajar menenun langsung dari ibu sejak kecil. Sampai sekarang kami masih menggunakan alat tenun kayu yang sama,” ujar Ibu Suryani, salah satu pengrajin songket yang ditemui saat penelitian.
Produk yang dihasilkan berupa selendang, sarung, hingga kain songket meteran dengan kisaran harga Rp400.000 hingga Rp800.000, bergantung motif dan tingkat kerumitan desain.
Penjualan dilakukan melalui pengepul, pemilik butik songket, hingga pemasaran mandiri melalui media sosial. Pasarannya tidak hanya dari Palembang, tetapi juga luar provinsi seperti Padang dan Medan.
Ratna menjelaskan bahwa keberadaan kerajinan songket memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian rumah tangga. Banyak perempuan dapat bekerja dari rumah sambil tetap menjalankan peran domestik, sehingga kerajinan ini berfungsi sebagai sumber pendapatan sekaligus sarana pelestarian budaya.
Namun, penelitian tersebut juga menemukan berbagai persoalan yang menghambat pengembangan usaha songket di desa itu. Di antaranya fluktuasi harga benang emas dan perak, keterbatasan alat tenun modern, persaingan dengan produk pabrikan, serta minimnya minat generasi muda untuk melanjutkan tradisi menenun.
“Kalau harga benang naik, kami ikut terdampak. Belum lagi anak-anak sekarang tidak banyak yang tertarik belajar menenun,” tambah Suryani.
Ia berharap adanya pelatihan desain, pemasaran digital, serta bantuan alat tenun modern agar pengrajin bisa lebih mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada pengepul.
Melalui penelitian ini, Ratna menilai perlunya sinergi antara pemerintah, pelaku UMKM, dan masyarakat dalam memperkuat ekosistem kerajinan songket di Desa Tanjung Pinang.
Langkah yang disarankan meliputi pendampingan usaha, pelatihan inovasi motif, penguatan pemasaran berbasis teknologi, serta regenerasi pengrajin melalui pelatihan generasi muda.
“Songket bukan hanya karya seni, tapi identitas budaya sekaligus sumber kehidupan masyarakat. Tanpa upaya serius pelestarian dan penguatan usaha, tradisi ini berpotensi tergerus zaman,” kata Ratna dalam laporan penutup penelitiannya.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi rujukan dalam pengembangan kerajinan lokal berbasis budaya dan pemberdayaan perempuan desa di masa mendatang. (*Red/UR)
















