Updaterakyat.com, Opini – Industri gula Indonesia kembali tercoreng oleh skandal korupsi besar.
Alih-alih menjadi solusi bagi ketergantungan impor, modernisasi Pabrik Gula Djatiroto di Jawa Timur justru berujung mangkrak dan menyisakan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
Ironisnya, proyek ambisius ini malah membuka borok praktik korupsi yang telah mengakar kuat dalam sektor pangan nasional.
Modernisasi yang Gagal: Pabrik Mangkrak, Uang Menguap
Pada tahun 2016, pemerintah meluncurkan proyek modernisasi Pabrik Gula Djatiroto melalui skema Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC).
Proyek ini digelontorkan dana Rp400 miliar dari Penyertaan Modal Negara (PMN), ditambah kredit dari Bank BRI dan PT Sarana Multi Infrastruktur.
Namun, pelaksanaannya justru jauh dari harapan.
PTPN XI menunjuk konsorsium KSO HEU—gabungan PT Hutama Karya, PT Eurroasiatic, dan Uttam Sucrotech PVT.LTD—untuk menangani proyek ini.
Sayangnya, proyek tersebut mangkrak meskipun hampir 90 persen dana sudah dicairkan.
Fakta di Lapangan: Korupsi dan Manipulasi Proyek
Investigasi Kortas Tipikor Polri mengungkap adanya dugaan korupsi senilai Rp782 miliar.
Dua petinggi PTPN XI ditetapkan sebagai tersangka, yakni Dolly Pulungan (mantan Direktur Utama) dan Aris Toharisman (mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis).
Para tersangka diduga melakukan penggelembungan anggaran, penyimpangan kontrak, serta menerima suap dalam proses pengadaan dan pelaksanaan proyek.
Tak hanya itu, sejumlah peralatan impor diketahui tidak sesuai spesifikasi, dan beberapa pembayaran dilakukan sebelum pekerjaan selesai.
“Uangnya sudah keluar, tapi pabriknya tidak kunjung selesai,” ungkap salah satu penyidik Kortas Tipikor.
Sisi Gelap Industri Gula: Mafia yang Terus Berkeliaran
Korupsi di sektor gula bukanlah masalah baru.
Skandal semacam ini hanya mengulang cerita lama tentang mafia gula yang menguasai jalur impor sekaligus mengendalikan produksi lokal.
Akibatnya, harga gula tetap tinggi meskipun impor melimpah.
Petani tebu lokal pun semakin terpuruk, terjepit oleh kebijakan yang lebih menguntungkan segelintir elite daripada rakyat kecil.
Reformasi atau Repetisi?
Selama politik tetap berbiaya tinggi, mafia gula dan komoditas lainnya akan terus bermain di balik layar kekuasaan.
Selama izin impor diberikan kepada mereka yang punya akses politik, bukan kompetensi, rakyat akan terus menjadi korban.
Selama korupsi dianggap wajar, keadilan ekonomi tidak akan pernah terwujud.
Setiap butir gula yang kita konsumsi bukan hanya terasa manis, tetapi juga pahit—karena di baliknya ada praktik kotor yang merugikan bangsa ini.
Pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan ini terjadi?
Sudah saatnya menghancurkan sistem korup yang menjadikan rakyat sebagai sapi perah bagi elite rakus.
Tanpa reformasi mendasar dan penegakan hukum yang tegas, keadilan ekonomi akan terus menjadi mimpi kosong.
Oleh: Renaldi Davinci